Bandung, Rumah Sakit, dan Terapi
Pagi di Bandung berhembus pelan, membangunkan kota dengan cahaya yang samar. Jalanan masih lengang, kabut tipis melayang di antara pepohonan yang berjajar rapi. Di sebelahku, Mama duduk diam, matanya menerawang ke luar jendela, menyusuri jalan yang mungkin tak asing, tapi terasa berbeda kini.
Kami menuju rumah sakit, tempat di mana waktu seperti berputar lebih lambat. Ruangannya serba putih, bau obat menyusup ke dalam napas, dan suara langkah kaki suster menjadi musik latar yang tak pernah usai. Mama menggenggam tanganku erat saat aku membantunya turun dari mobil. Tidak ada kata, hanya genggaman yang berbicara lebih banyak dari kalimat mana pun.
Terapi hari ini mungkin sama seperti kemarin, atau seperti esok dan lusa. Gerakan kecil yang harus dilakukan berulang, latihan yang harus dijalani dengan sabar. Tapi aku tahu, setiap langkah kecil ini adalah perjalanan panjang menuju pulih, menuju hari-hari di mana Mama tak lagi merasa tubuhnya seperti beban yang harus ditanggung sendiri.
Di luar, Bandung tetap Bandung. Angin membawa aroma hujan yang belum turun, seolah ikut menyemangati. Aku menunggu di sudut ruangan, melihat Mama berusaha, sedikit demi sedikit. Aku ingin percaya, seperti yang selalu dia ajarkan padaku sejak kecil—bahwa kesabaran dan usaha tak akan pernah sia-sia.
Setelahnya, kami akan pulang. Lewat jalan yang sama, di bawah langit yang sama, tapi dengan harapan yang sedikit lebih besar dari kemarin.
