Di Teras, Bersama Sepi dan Negeri yang Luka


Malam makin larut, tapi matanya enggan terpejam. Ia masih duduk di teras, di bawah lampu redup yang lebih banyak memberi bayangan daripada cahaya. Rokok di jarinya telah pendek, bara merahnya seperti api kecil yang tak mampu menghanguskan kecewa.

Di layar ponselnya, berita-berita berbaris seperti parade kepalsuan. Kasus korupsi yang terbongkar, pejabat yang tersenyum dalam borgol, janji-janji reformasi yang sudah lama basi. Negeri ini dulu ia banggakan, dulu ia bela, tapi kini terasa seperti panggung sandiwara, tempat mereka yang serakah berpesta di atas penderitaan.

Ia menghela napas panjang, membiarkan kepulan asap bercampur dengan rasa sesak di dadanya. "Dulu kami berjuang demi perubahan," gumamnya, entah pada siapa. "Tapi kini yang berubah hanya wajah-wajah di kursi, sementara kerakusan tetap berakar."

Angin malam membelai rambutnya yang mulai memutih. Ia tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena getir. Mungkin, yang tua hanya dirinya, sementara negeri ini masih kanak-kanak dalam kemunafikan.

Di kejauhan, anjing menggonggong pada sesuatu yang tak terlihat. Lelaki itu mengangguk pelan. "Aku mengerti," katanya pelan. "Kadang yang bisa kita lakukan hanya menggonggong, meski tak ada yang peduli."

Ia mematikan ponselnya, menepiskan abu rokok terakhir, lalu menatap langit yang tetap gelap. Besok, pagi akan datang lagi. Tapi entah kapan harapan benar-benar kembali.

Popular posts from this blog

Bismillah

Makna, Tafsir, dan Relevansi Surat Adh-Dhuha

Senja di Perjalanan Pulang