Gravitasi Cinta Semesta
Dalam hening jagat raya, di antara hamparan bintang yang bersujud dalam keteraturan, ada sebuah tarikan yang tak terlihat, tapi dirasakan oleh segala yang ada. Sebuah tangan yang tak tampak, menautkan yang jauh, menundukkan yang sombong, memeluk yang rapuh. Itulah gravitasi—bisikan sunyi yang menjaga keteraturan, hukum yang ditanamkan dalam dasar semesta oleh Sang Maha Mengatur.
Lihatlah bagaimana bumi mendekap segala yang berada di atasnya, bagaimana ia memanggil daun yang gugur, merengkuh air yang jatuh dari langit, menggenggam kaki-kaki kecil yang berlari di permukaannya. Tak ada yang bisa lari, tak ada yang bisa lepas, sebab setiap partikel, sekecil apapun, telah ditakdirkan untuk tunduk kepada tarikan itu—tarikan yang tak pernah terlihat, tapi senantiasa bekerja dalam keheningan.
Begitu pula bintang-bintang di angkasa, yang tidak beterbangan sesuka hati, tetapi berputar dalam lingkaran taat, mengikuti jalur yang telah ditentukan. Matahari, yang menjadi suluh bagi kehidupan, tak bergerak liar, melainkan berjalan dalam orbitnya, sebagaimana bulan yang mengelilingi bumi tanpa lelah. Mereka semua tunduk, patuh dalam kepastian yang dituliskan oleh tangan yang Maha Menetapkan.
Seperti itulah hakikat kehidupan. Kita semua punya gravitasi yang menarik kita pada titik asal, pada pusat kebergantungan, pada satu poros yang tak tergantikan—Dia, yang menjadikan segala sesuatu dalam takaran yang sempurna. Sebagaimana bumi tak bisa melepaskan diri dari matahari, sebagaimana bulan tak bisa berpaling dari bumi, begitu pula hati tak bisa menghindar dari fitrahnya: rindu akan Sang Pencipta.
Tak ada yang bisa benar-benar melawan gravitasi, karena hakikatnya semua yang ada, pada akhirnya, akan kembali. Semua yang naik akan turun, semua yang pergi akan pulang, semua yang mendaki akan tertarik kembali ke asalnya. Maka kepada siapa lagi kita akan menggantungkan diri, kalau bukan kepada Dia yang memegang hukum-hukum alam?
Gravitasi adalah tanda kebesaran-Nya, sebuah pesan bahwa keteraturan bukanlah kebetulan, bahwa keseimbangan bukanlah hasil dari kehampaan. Ia adalah bukti, bahwa ada kehendak yang menjaga, ada kuasa yang menetapkan, ada tangan yang mengatur.
Dan kita, tak lain hanyalah bagian dari tarikan itu—senantiasa mencari porosnya, senantiasa mendekat kepada pusatnya. Hingga kelak, saat semua yang bermula akan berakhir, saat semua yang berpencar akan dikumpulkan kembali, kita pun akan jatuh, tersungkur, kembali kepada-Nya.
Sebab, seperti daun yang jatuh ke tanah, seperti air yang kembali ke laut, tak ada perjalanan yang lebih pasti daripada perjalanan menuju Dia.