Jejak Angin dan Percikan Warna
Di koridor luar, di tepi kolam yang menghadap langit, kuas-kuas bekerja, menari di atas dinding yang letih. Warna-warna baru melayang, mencoba menghapus jejak waktu, menghalau pudar yang lama menetap. Cat segar mengalir, mengilap dalam cahaya, seolah hendak menyulap koridor menjadi lebih hidup, lebih berseri.
Namun, angin selalu punya kisahnya sendiri. Ia tak bisa diikat, tak bisa diarahkan. Ia menyelinap di sela-sela gedung, menggulung butiran warna yang belum kering, membawanya ke arah yang tak terduga. Jatuhlah mereka—lembut namun tak kenal ampun—ke parkiran mall, ke kaca dan bodi mobil yang diam dalam ketenangan sore. Bintik-bintik warna menyentuh permukaan yang tak memintanya, menuliskan noda di atas kemewahan dan keangkuhan kendaraan-kendaraan yang terparkir rapi.
Lalu suara pun pecah, seperti gelombang yang menghantam tebing. Seruan-seruan protes menggema, jemari menunjuk, mata menuntut jawaban. Di koridor luar, cat masih mengalir, tapi kini bercampur dengan gelisah yang tak kasat mata. Angin berbisik dalam diamnya, seolah meminta maaf, tapi ia tak mungkin menarik kembali warna yang telah jatuh.