Kolak: Senandung Kesabaran dalam Semangkuk Kehangatan

Dalam keheningan senja, saat azan hampir menyapa cakrawala, semangkuk kolak tersaji di meja. Uapnya menguar pelan, membawa aroma manis yang menghangatkan hati. Di dalamnya, pisang dan ubi tenggelam dalam lautan santan, seperti manusia yang larut dalam samudera takdir.  

Kolak bukan sekadar hidangan. Ia adalah pesan tentang kesabaran, seperti pisang yang lembut setelah direndam kehangatan api. Ia adalah lambang keikhlasan, seperti santan yang menyatukan segala rasa tanpa meminta lebih. Ia adalah kehangatan rumah, mengingatkan bahwa berbuka puasa tak sekadar menuntaskan lapar, tetapi juga merayakan kebersamaan.  

Dari namanya, ia membawa bisikan suci—Khalik, Sang Pencipta. Seolah berbisik lembut kepada setiap insan yang menyesapnya: mendekatlah, tenanglah, karena hidup adalah tentang keseimbangan. Seperti kolak yang manis namun tak berlebihan, begitu pula kita diajak untuk hidup dalam kesederhanaan.  

Di tanah Jawa, ada pepatah: saiyeg saeka praya, bersama dalam satu tujuan. Seperti kolak yang menyatukan berbagai rasa dalam satu mangkuk, begitu pula manusia yang menemukan makna dalam kebersamaan. Dan ketika sendok terakhir menyentuh bibir, tersisa satu pelajaran: hidup, seperti kolak, butuh kesabaran agar terasa sempurna.

Popular posts from this blog

Bismillah

Makna, Tafsir, dan Relevansi Surat Adh-Dhuha

Senja di Perjalanan Pulang