Stasiun Bandung, 2025
Langit Bandung pagi ini masih sama, sedikit kelabu dengan udara dingin yang menggigit lembut. Di tengah riuh kota yang terus bergerak maju, Stasiun Bandung berdiri tegak, menjadi simpul perjumpaan, perpisahan, dan harapan. Bangunannya tetap megah, meski kini lebih rapi, lebih modern, namun terasa lebih sepi dibanding masa lalu.
Gerbang otomatis menyambut para penumpang yang masuk, kartu elektronik menggantikan tiket kertas yang dulu sering kusut di saku celana. Tak ada lagi pedagang berlalu-lalang, tak ada yang menawarkan roti atau kopi hangat. Tak ada juga koran yang dulu setia menemani pagi. Semua berita kini tersaji di layar ponsel yang hampir tak pernah lepas dari genggaman.
Di ruang tunggu, orang-orang duduk dalam diam, sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Beberapa mengetik pesan di layar ponsel, mungkin mengabarkan bahwa mereka akan segera tiba atau berpamitan sebelum berangkat. Yang lain mengenakan headphone, tenggelam dalam lagu-lagu yang hanya mereka dengar. Suasana terasa lebih sunyi, bukan karena tak ada orang, tapi karena semua lebih sibuk dengan dunianya sendiri.
Di peron, antrean tertata rapi. Tak ada lagi orang yang menyerobot atau berdesakan, semuanya menunggu dalam ketertiban yang nyaris mekanis. Layar digital di dinding mengumumkan jadwal kedatangan, menggantikan suara pengeras yang dulu berderak nyaring.
Lalu, terdengar bunyi klakson khas dari kejauhan. Kereta masuk perlahan, gemuruh rodanya masih sama seperti dulu, suara besi beradu dengan rel yang dingin. Tak ada teknologi magnetik canggih seperti di negara-negara maju—kereta ini masih seperti dulu, hanya lebih bersih, lebih modern, lebih tertib.
Pintu-pintunya terbuka manual, ditarik oleh petugas yang mengenakan seragam rapi. Penumpang turun dengan langkah cepat, yang naik pun tak kalah tergesa. Beberapa membawa koper ringan, beberapa hanya menenteng tas punggung, dan ada pula yang membawa banyak bawaan, terburu-buru mencari tempat duduk sebelum kereta kembali bergerak.
Di luar stasiun, tak ada lagi angkot tua yang ngetem sembarangan. Transportasi umum masih ada, tapi kini bersaing dengan kendaraan online. Motor-motor dengan jaket hijau dan biru berbaris di tepi jalan, siap mengantarkan siapa saja ke tujuan masing-masing. Mobil-mobil dengan logo aplikasi di kaca belakang menunggu di zona penjemputan, sementara penumpang yang baru turun sibuk mengecek ponsel, memastikan kendaraan mereka segera tiba.
Bandung telah berubah, namun ada hal-hal yang tetap sama. Stasiun ini, meski lebih sunyi dan lebih tertib, masih menjadi saksi bisu perjalanan ribuan orang setiap harinya. Di sini, pertemuan dan perpisahan masih terjadi, meski tanpa banyak kata, tanpa banyak pelukan. Kereta datang dan pergi, membawa serta orang-orang ke arah yang berbeda, namun satu hal pasti—setiap kepergian selalu menyisakan jejak, dan setiap perjalanan selalu membawa pulang satu cerita.