Sholat, Paspor Menuju Keabadian

Sesaat setelah roda pesawat menjejak bumi Jeddah, seorang musafir menuruni tangga besi. Ia menghela napas panjang, bersiap menghadapi gerbang pertama: pemeriksaan paspor. Petugas imigrasi meneliti lembar demi lembar, mencari keabsahan identitas. Bila paspor cacat, ia tertahan. Tak ada langkah menuju Makkah, tak ada jejak di tanah suci.

Begitulah kelak, di akhirat. Saat ruh-ruh berdiri di hadapan Sang Hakim, bukan harta, bukan nama, bukan rupa yang pertama ditimbang. Tetapi sholat. Apakah geraknya mengikuti sunah? Apakah hatinya ikhlas berlabuh di samudra penghambaan? Jika sholatnya lurus, amal lain pun tersusun rapi. Jika bengkok, amal lain pun berserak tak berarah.

Seperti matahari yang menyingsing, sholat hadir bukan sekadar rukuk dan sujud. Ia harus memancar dalam gerak dan laku. Jika ia benar, keji dan mungkar akan mundur perlahan, seperti malam yang menyerah pada fajar. Sebab, ingatan kepada Allah lebih agung dari segala bentuk ibadah.

Di antara sekian amal, sholatlah yang pertama dipanggil. Ia seperti akar yang menentukan kokoh atau rapuhnya pohon kehidupan. Jika sholat tegak, ranting amal lain akan berbuah. Jika sholat rapuh, ranting amal pun layu sebelum sempat mekar.

Maka, sholatlah sebagaimana Rasulullah sholat. Dengan gerak yang benar, dengan hati yang khusyuk, dengan jiwa yang tertambat pada-Nya. Sebab, di ujung perjalanan ini, bukan paspor dunia yang ditanya, tetapi paspor keabadian: sholat yang benar dan diterima.

Popular posts from this blog

Bismillah

Makna, Tafsir, dan Relevansi Surat Adh-Dhuha

Senja di Perjalanan Pulang