Tangis Mazaya di Pelukan Malam
Malam telah larut, angin menyusup di sela jendela, membawa sunyi yang terasa lebih dalam. Di sudut ruang, Mazaya duduk memeluk boneka kesayangannya, matanya masih basah oleh sisa tangis. Mama dan Uni telah pergi ke masjid, melangkah pergi setelah Isya, meninggalkan rumah dalam hening yang tak Mazaya inginkan.
Papa ada di rumah, duduk dengan buku di tangannya, sesekali melirik ke arah Mazaya dengan senyum menenangkan. Mbak pun ada, mondar-mandir di dapur, sibuk dengan urusannya sendiri. Tapi tetap saja, kehadiran mereka tak mengisi celah kosong yang Mazaya rasakan.
Dari kejauhan, suara lantunan ayat suci menggema, membelah malam, mengalir dari masjid menuju rumah yang kini terasa begitu luas. Mazaya memejamkan mata, membayangkan Mama dan Uni di sana, duduk bersimpuh dengan kitab suci dalam genggaman. Ia tahu mereka sedang dekat dengan Allah, tapi hatinya yang kecil belum mampu mengerti kenapa ia harus ditinggalkan.
Ia menarik napas dalam, menggigit bibirnya sendiri agar isaknya tak lagi pecah. Papa mendekat, mengusap kepalanya lembut, membisikkan sesuatu yang hampir seperti doa. Mazaya menghela napas, berusaha percaya—Mama dan Uni akan pulang, membawa cahaya yang akan mengusir sunyi ini.