Senandung Senja di Peluk Gunung
Langit melukis dirinya dengan warna senja yang mengalir, seolah dewa-dewa telah menumpahkan serbuk api ke cakrawala. Jingga membelai merah, merah merangkul ungu, lalu semuanya larut dalam bayang asap yang mendesir dari dada gunung. Dua puncak menjulang, berdiri dengan gagah seperti raksasa purba yang mengembuskan napas terakhir sebelum lelap.
Di bawahnya, danau membisu, menyimpan pantulan keajaiban di permukaannya yang halus bagai cermin langit. Ombaknya enggan berlari, hanya gemetar halus saat angin menyentuhnya dengan jemari lembut. Cahaya keemasan jatuh dari langit, terpecah di air, membentuk riak warna yang menari-nari, seolah perbincangan rahasia antara surga dan bumi.
Dua sosok manusia berdiri di jalan setapak, kaki mereka membumi, tetapi jiwa mereka terbang bersama angin yang melintasi lembah. Mata mereka menatap jauh ke perapian raksasa di kejauhan, merasakan bisikan kuno dari tanah yang tak pernah lelah bernyanyi. Entah doa atau takjub yang mereka hembuskan, tapi angin malam menangkapnya, mengirimkannya ke dalam gelap yang mulai turun perlahan.
Pepohonan palem melambai, berbisik dengan dedaunan hijau yang bertasbih dalam senandungnya sendiri. Di antara bayangan yang memanjang, keheningan mengandung seribu cerita, sebuah nyanyian yang hanya dapat didengar oleh hati yang bersedia mendengar.
Gunung masih mengepul, langit masih menyala, danau masih memantulkan, dan waktu... waktu seolah berhenti, memberi ruang bagi semesta untuk bernapas dalam keagungan yang tak terucapkan.
