Uap Vape di Antara Rindu yang Tak Terucap


Mobil melaju perlahan menembus malam, dan di dalamnya, lelaki paruh baya itu duduk sendirian, ditemani keheningan yang hanya dipecah oleh deru mesin dan suara radio tua yang berderit pelan. Jendela sedikit terbuka, mengundang angin dingin menyelinap masuk, sementara vape di tangan kirinya mengeluarkan uap tipis beraroma manis, melayang lembut sebelum tersapu keluar. Ia menarik napas dalam, membiarkan rasa ringan dari vape meresap, sedikit melepas lelah yang menempel di tubuhnya usai seharian bekerja. Tangan kanannya menjaga setir, matanya menatap jalan yang diterangi lampu kota, tapi pikirannya melayang jauh—ke rumah, dan sesekali ke kota lain, tempat anak lelaki tertuanya kini menjalani hidupnya sendiri.


Lagu lama dari radio mengalun samar, membangkitkan kenangan, sementara aroma uap vape bercampur dengan bau jok kulit yang dingin. Di luar, bayang trotoar dan pohon-pohon berlalu cepat, tapi di dalam kepalanya, ia melihat lampu teras yang menyala lembut, istri yang menyambut dengan senyum sederhana, rambutnya sedikit kusut setelah seharian mengurus rumah. Tiga anak perempuannya hadir dalam bayangannya: si sulung perempuan duduk tenang, mata terpaku pada tab Samsung di tangannya, jari-jarinya lincah menggulir layar, tenggelam dalam dunia bacaannya; si tengah tertawa lepas, suaranya memenuhi ruang dengan cerita hari sekolah; dan si bungsu berlari kesana kemari, kaki kecilnya tak pernah diam, boneka lusuh terseret di lantai. Tapi di sudut pikirannya, ada anak lelaki tertuanya—yang kini sudah besar, bekerja di kota lain, mungkin sedang duduk di teras rumahnya di sana, menikmati angin malam setelah hari yang panjang, jauh dari rumah yang kini hanya ditempati keluarga kecil yang tersisa.


Ia membayangkan anak lelakinya itu, wajahnya yang mirip dengannya di masa muda, duduk di teras dengan secangkir kopi atau hanya menatap langit, di kota yang berbeda, yang bising dan penuh lampu. Lalu ia kembali ke bayangan rumahnya sendiri, ke si sulung perempuan yang larut dengan tab Samsung-nya, cahaya layar memantul di matanya yang cerdas. Vape ia tarik lagi, uapnya meninggalkan jejak samar sebelum hilang. Mobil terus meluncur membelah malam, jalan masih terbentang di depan, tapi setiap putaran roda membawanya lebih dekat—ke rumah, ke tiga putrinya yang menanti, ke pelukan istri yang menghibur, dan ke kenangan anak lelakinya yang kini menemukan ketenangan di teras rumahnya sendiri di kota lain.

Popular posts from this blog

Bismillah

Makna, Tafsir, dan Relevansi Surat Adh-Dhuha

Senja di Perjalanan Pulang