Jejak Bayangan di Taman Senja
Kaki kecilnya menari di antara kerikil yang berbisik, mengekor langkah ayah—bayangannya menyatu seperti dua akar yang saling merangkul. Taman ini adalah peta tanpa tepi: di sana, daun-daun kering berderai seperti surat cinta yang tercecer, angin membisikkan nama-namanya dalam bahasa yang hanya mereka pahami. Ayahnya berjalan pelan, tangan kanannya menggenggam lima jarinya yang masih berbentuk kuncup, sementara tangan kiri menunjuk ke dahan di mana burung gereja bersiul tentang waktu yang diam-diam merangkak.
"Lihat, Nak," katanya, suaranya seperti tanah yang basah oleh hujan pertama, "bunga kertas itu mekar meski akarnya terjepit batu." Anak itu mengangguk, matanya menangkap cahaya keemasan yang menyelinap di antara dahan—seolah langit menitipkan rahasia melalui celah-celah dedaunan. Mereka berhenti di depan kolam kecil, airnya mengusap wajah mereka yang terbalik: sang ayah seperti pohon beringin yang merunduk, anak itu seperti benih yang baru saja belajar mimpi.
Dia berlari ke arah kupu-kupu yang hinggap di atas selasih, tertawa—suaranya gemerincing seperti angin yang menggoyang lonceng kaca. Ayahnya hanya tersenyum, menyimpan detik-detik itu di saku jaketnya yang sudah usang. Di kejauhan, jam matahari memanjang, mengingatkan bahwa senja takkan menunggu. Tapi di sini, di antara semak melati yang harum dan jalan setapak yang berliku, waktu hanyalah daun yang terhempas pelan, tersangkut di rambut sang anak yang terus bertanya, "Ayah, apa nama bunga itu?"
Dan sang ayah, yang tahu jawabannya tapi memilih diam, hanya mengusap kepala bocah itu—seperti dulu kakeknya pernah lakukan—sambil berpikir: "Taman ini akan selalu ada, bahkan saat kau berjalan di sini tanpa bayanganku nanti'.
Sementara itu, langit meneteskan jingga terakhir, dan jejak mereka yang basah oleh embun mulai bersemi menjadi kenangan.